Siapa bilang perbudakan hanya terjadi di masa lalu? judul artikel ini terkesan berlebihan, tapi perbudakan sedang terjadi di era yang modern ini salah satunya di industri fashion (mode).
Dengan minat dunia akan mode yang terus meningkat, ini membuat industri mode bergantung pada tenaga kerja yang tinggi. Pakaian harus terus diproduksi secara masif dan dalam waktu yang cepat.
Menurut Hasan (2019), perbudakan di dunia modern memiliki “wajah” yang berbeda tetapi terjadi pada orang-orang di setiap negara, lintas ras, di segala usia. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa ada 40,3 juta budak yang merupakan bagian dari masyarakat modern kita.
Indeks Perbudakan Global 2018 menemukan bisnis dan pemerintah di negara-negara G20 mengimpor produk itu berisiko mengalami perbudakan modern dalam skala yang signifikan. Negara-negara tersebut antara lain: Amerika Serikat, Australia, Kanada, Perancis, Italia, Jepang, dan Inggris– mereka menguasai 80 persen perdagangan dunia. Indonesia, juga termasuk salah satu negara yang pemerintahannya diketahui tidak melakukan aksi apa pun untuk mengatasi perbudakan modern.
Analisis Indeks Perbudakan Global 2018 mengidentifikasi produk “lima teratas” yang berisiko mengalami perbudakan modern di masing-masing negara G20: barang-barang umum seperti laptop, komputer & ponsel, pakaian jadi & aksesoris, ikan, cokelat, dan kayu. Negara-negara G20 secara kolektif mengimpor produk ini senilai US$354 miliar setiap tahunnya.
Industri mode secara global secara historis dikenal dengan kondisi kerja yang memperlakukan pekerjanya seperti budak: kondisi kerja yang tidak aman, kerja paksa, tidak membayar atau membayar pekerjanya dengan upah yang tidak manusiawi, bahkan mempekerjakan anak-anak.
Berbagai riset dan laporan menyoroti perbudakan modern di industri mode terutama selama pandemi, salah satunya laporan oleh Fashion Revolution berjudul “Fashion Transparency Index 2022.” Laporan tersebut membahas industri mode sirkulasi dan transparansi dari sisi lingkungan dan persamaan (equality). Laporan lengkap Fashion Transparency Index 2022 dapat dibaca di sini.
“94% merek tidak mempublikasikan kemajuan tahunan mereka menuju upah layak dan 96% tidak mempublikasikan jumlah pekerja dalam rantai pasokan mereka yang membayar upah layak,” tulis laporan Fashion Transparency Index 2022.
Hampir tidak ada (4%) merek yang mengungkapkan metode untuk mengisolasi biaya tenaga kerja (isolating labor cost); indikasi penting bagaimana merek memasukkan biaya tenaga kerja ke dalam negosiasi harga mereka.
Volume produksi yang sangat besar terjadi di daerah-daerah di mana masalah migran, kasta, dan etnis memfasilitasi penyalahgunaan dan eksploitasi tenaga kerja. Misalnya, di India, pekerja garmen berbasis rumahan hampir seluruhnya terdiri dari perempuan dan anak perempuan dari komunitas etnis tertindas yang secara historis mengalami eksploitasi dalam jumlah besar.
Mereka yang berasal dari komunitas kasta rendah menjadi sasaran perekrut untuk menjadi pekerja garmen migran. Masalah ini adalah warisan signifikan industri mode dari imperialisme Eropa dan warisan kolonialisme yang berkelanjutan dengan mempertahankan biaya rendah melalui ketergantungan pada tenaga kerja yang diremehkan, kebanyakan oleh BIPOC (orang kulit hitam, adat, dan person of colour lainnya).
Bagi yang gemar dengan mode pasti pernah mendengar atau bahkan pernah membeli baju dari Shein. Merek mode dari China ini sempat mendominasi TikTok, YouTube, dan Instagram dengan banyaknya beauty/fashion content creator yang melakukan “Shein Haul.” Mereka bahkan memiliki produk kosmetiknya sendiri saat ini.
Shein bukanlah merek yang terbaik dalam hal keberlanjutan dan praktik kerja yang aman dan sesuai. Jika berbicara mengenai perbudakan modern di industri fashion, Shein merupakan salah satu contoh yang terbaik. Banyak media berita besar secara global membahas dan meliput kontroversi Shein.
Pada Oktober 2022, penyelidikan rahasia yang dilakukan oleh Channel 4 dan inews (dirangkum oleh The Cut) mengungkapkan bahwa para pekerja Shein bekerja tujuh hari seminggu, beberapa mendapatkan gaji pokok hanya $556 per bulan untuk membuat 500 potong pakaian per hari.
Secara total, itu sama dengan menghasilkan dua sen per item pakaian yang diproduksi. Di beberapa pabrik, karyawan perempuan mencuci rambut mereka saat istirahat makan siang karena tidak punya waktu untuk melakukannya setelah 18 jam hari kerja mereka. Pekerja juga akan dihukum dua pertiga dari upah harian mereka jika mereka melakukan kesalahan pada item pakaian.
Investigasi lain oleh Public Eye menemukan bahwa sejumlah staf di enam lokasi di Guangzhou ditemukan bekerja 75 jam seminggu. Sedangkan, menurut undang-undang perburuhan China, satu minggu kerja terdiri dari maksimal 40 jam, lembur tidak dapat melebihi 36 jam per bulan, dan pekerja harus memiliki setidaknya satu hari libur per minggu.
“Karyawan dibayar per item; tidak ada upah pokok atau premi lembur; mereka bekerja 11 jam sehari dan memiliki satu atau dua hari bebas dalam sebulan,” tulis Public Eye.
Pekerja juga tidak memiliki kontrak kerja. Meskipun kontribusi dari pemberi kerja dan karyawan merupakan persyaratan hukum, tidak satupun pekerja berhak atas tunjangan jaminan sosial. Semua ilegal menurut UUD China.
Perbudakan modern merupakan isu yang kompleks, tidak akan ada satu solusi yang dapat menyelesaikan semuanya. Penting untuk mengatasi tantangan ini dengan lebih kolaboratif antara semua pemangku kepentingan: pemerintah, bisnis, LSM, akademisi, aktivis sosial, dll.
International Labour Office (ILO) mengatakan bahwa The Global menunjukkan bahwa mayoritas kerja paksa saat ini ada di ekonomi swasta. Mereka menekankan pentingnya bermitra dengan komunitas bisnis bersama dengan organisasi pengusaha dan pekerja, serta organisasi masyarakat sipil untuk memberantas kerja paksa dalam rantai pasokan dan ekonomi swasta secara lebih luas.
Kerja sama harus diperkuat antara dan di antara pemerintah dan dengan organisasi internasional dan regional yang relevan di bidang-bidang seperti penegakan hukum ketenagakerjaan, penegakan hukum pidana, dan pengelolaan migrasi untuk mencegah perdagangan manusia dan menangani kerja paksa lintas batas.
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!