Semakin banyak merek yang ikut serta dalam segmen resale di industri ini. Second hand shop atau preloved adalah ungkapan halus untuk barang bekas pakai yang dijual kembali dalam keadaan masih sangat layak.
Second hand shop atau thrift store menjadi salah satu pilihan bagi banyak orang dalam berbelanja dengan berbagai alasan. Ada yang karena ingin menghemat, ada yang ingin mencari barang-barang model vintage, ada pula yang ingin menerapkan konsep sustainability fashion dengan tidak membeli barang baru, melainkan membeli barang-barang preloved.
Belum lama ini Amazon menjalin kemitraan dengan perusahaan pakaian vintage mewah, What Goes Around Comes Around, untuk menjual barang dagangan merek-merek kelas atas di situs mereka. Menariknya, banyak dari merek-merek menengah ke atas ini yang tadinya telah menolak permintaan Amazon untuk menjual produk tersebut di situs mereka.
Tak hanya Amazon, beberapa brand pun turut berpartisipasi dan ikut serta dalam hal resale market ini. Contohnya adalah H&M. Banyak peritel juga telah menambahkan tempat sampah donasi pakaian di toko mereka sambil memasarkan inisiatif ini sebagai elemen ramah lingkungan pada fast-fashion. H&M menambahkan tempat sampah ini ke lebih dari 4.200 lokasi toko mereka di seluruh dunia, dengan menyatakan bahwa pakaian yang sudah tidak terpakai dapat diberikan tujuan baru. Namun, program ini mendapat banyak kritik mengingat fast-fashion adalah kontributor utama dari banyaknya tekstil yang berakhir di tempat pembuangan akhir.
Sustainability Report H&M tahun 2018 menyatakan bahwa dari semua bahan yang digunakan untuk membuat sekitar setengah miliar pakaian per tahun, hanya 0,7% yang merupakan bahan daur ulang. Laporan GlobalData menawarkan sejumlah strategi yang dapat digunakan oleh merek dan peritel jika mereka ingin tetap sukses di pasar penjualan kembali fesyen global
Dalam bisnis penjualan kembali, tampaknya perilaku konsumen berubah tergantung pada usia. Beberapa survey melaporkan bahwa lebih dari separuh penjualnya pada tahun 2021 adalah Generasi X atau lebih tua, atau setidaknya berusia 42 tahun. Sedangkan pembeli yang lebih muda adalah yang paling sering membeli pakaian bekas ini.
Generasi muda tertarik untuk membeli barang-barang bekas ini, bukan hanya karena bisa menghemat budget, tetapi juga karena lebih ramah lingkungan dan kesenangan menemukan barang-barang yang unik dan langka.
Beberapa orang menyebutkan bahwa dapat tampil unik dan membangun gaya yang lebih personal adalah salah satu alasan untuk dapat tampil autentik sambil berhemat.
Saat ini, kemampuan untuk membeli pakaian bekas melalui aplikasi dan situs web juga membuat prosesnya jauh lebih sederhana, dibandingkan dengan harus memilah-milah rak di lokasi toko fisik. Banyak toko online yang menawarkan konsep thrifting dengan lebih praktis.
Gen Z bukanlah satu-satunya demografi yang aktif berbelanja barang bekas saat ini. Mesin pencari Lyst melaporkan bahwa pada bulan September 2020, terjadi peningkatan 104% dalam pencarian fashion online untuk kata kunci yang berhubungan dengan barang bekas seperti "vintage fashion" dan "slow fashion", yang mana kata kunci tersebut menghasilkan lebih dari tujuh juta tayangan di media sosial.
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!