Masih ingat dengan gaya Harajuku, apakah gaya Harajuku sudah punah? Gaya yang diimpor dari negara Jepang ini sempat menjadi tren di Indonesia loh. Kalau kata perancang busana, Embran Nawawi, harajuku menjadi tren di Indonesia pada tahun 1997.
Buat yang belum tahu, Harajuku sebenarnya merupakan sebuah distrik di Tokyo, Jepang, yang menjadi rumah buat pemuda untuk menuangkan passion-nya di dunia fesyen. Nah gaya Harajuku sendiri sebenarnya bermula dari distrik ini.
Belum bisa dipastikan apa arti sebenarnya dari harajuku dari segi fesyen. Beberapa percaya bahwa gaya ini adalah bentuk perlawanan dari norma dan aturan sosial di Jepang yang begitu ketat. Namun buat sebagian orang, harajuku adalah perayaan kebebasan pribadi dalam berekspresi.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri, harajuku sudah menjadi subkultur di tengah masyarakat Jepang dan dunia. Namun tidak seperti subkultur lain — seperti punk, misalnya — gaung harajuku tampaknya tidak begitu awet.
Jumlah pemuja harajuku saat ini terbilang minim jika dibandingkan dengan yang dulu. Bahkan, beberapa media telah mengklaim kalau gaya ini sudah mati. Apakah benar demikian?
Subkultur harajuku besar di pertengahan ’80-an hingga awal 2000-an. Jadi tidak heran kalau media cetak punya peran besar pada perkembangan subkultur ini. Salah satu media cetak itu adalah FRUiTS, yang dibangun oleh Shoichi Aoki.
Setelah 20 tahun lamanya, FRUiTs memutuskan untuk menutup cetakan. Aoki, ketika berbicara kepada BBC beberapa waktu lalu, mengatakan kalau dirinya kesulitan mendapatkan foto-foto pemuda dengan gaya harajuku lagi di jalanan.
“Tidak ada lagi anak-anak keren yang tersisa untuk difoto,” kata Aoki. Fenomena itu lalu membuatnya percaya bahwa harajuku telah mati. Hal serupa juga dipertegas oleh perancang busana yang pernah bekerja dengan Aoki, Daphne Mohajer.
“Sulit menemukan orang yang bisa difoto, melakukan hal-hal baru dan bermain dengan kategori ataupun material dengan cara yang original dan terlihat bagus. Mungkin satu dari 100 orang, atau bahkan lebih sedikit,” katanya.
Perlu dicatat bahwa FRUiTS sendiri belum benar-benar hilang dari peredaran. Mereka hanya menghentikan produksi majalah cetak, dan masih berkeliaran di media sosial hingga sekarang.
Subkultur harajuku rupanya sangat bergantung dengan kebijakan pemerintah setempat. Harajuku bisa bertumbuh pesat karena label Hokoten (Hokousha Tengoku), yang berarti ‘surga buat pejalan kaki’.
Jalan-jalan di Harajuku dulunya ditutup untuk kendaraan. Hal ini memudahkan buat para pegiat subkultur menunjukkan ekspresi terbaiknya dalam hal fesyen. Alhasil, pemuda-pemuda kreatif Jepang pun bisa terlihat di setiap pojok distrik.
Masalah muncul begitu pemerintah setempat memutuskan untuk membuka kembali jalanan di Harajuku untuk kendaraan. Harajuku pun tidak menjadi surga buat pejalan kaki lagi, seperti yang dulu digaung-gaungkan.
Distrik Harajuku yang populer menjadi incaran banyak raksasa fesyen. Mereka berbondong-bondong membuka outlet di sekitaran kawasan itu. Saat melihat H&M hadir di Harajuku, Aoki meyakini bahwa subkultur idamannya itu akan mati.
Kehadiran jenama-jenama papan atas membuat perhatian publik teralihkan. Uniqlo pun, bisa dikatakan, salah satu yang membuat penyakit gaya harajuku semakin kronis. Lantarannya Uniqlo menawarkan opsi bergaya yang lebih murah.
Harajuku juga besar karena kultur DIY (do-it-yourself). Pemuda kreatif ini seringnya melakukan mix and match berbagai macam pakaian. Mengingat harga pakaian di Jepang pada saat itu sulit buat dijangkau, DIY pun jadi terasa mahal.
Permintaan pakaian dengan harga murah itulah yang berhasil dipenuhi oleh Uniqlo. Mereka memudahkan pemuda-pemuda Jepang untuk tampil keren dengan upaya minim plus murah. Kreativitas pun tak lagi terlihat dalam tampilan mereka.
Pemuda kreatif mungkin sudah semakin jarang terlihat di distrik Harajuku, seperti yang Aoki bilang. Sedari awal, harajuku tidak memiliki pola yang khas seperti kebanyakan subkultur lain. Apa yang digaungkan oleh harajuku adalah kebebasan ekspresi dalam aspek fesyen. Kreativitas tanpa batas dan tanpa penilaian buruk dari sekitar.
Gaya harajuku mungkin berubah, tapi tidak mati. Mungkin para pemuda Jepang tak lagi memakai pakaian yang mudah mencuri perhatian. Tapi selama ada kebebasan dalam berekspresi di dalamnya, maka bisa dibilang semangat harajuku tetap ada.
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!