Margaret Thatcher bukanlah sosok asing, terlebih buat kamu yang mengikuti politik luar negeri. Thatcher merupakan Perdana Menteri Britania Raya dengan masa jabatan terlama (1979-1990). Thatcher mendapatkan julukan ‘The Iron Lady’ selama menjalani peran tersebut.
Entah disadari atau tidak, Thatcher juga memberikan pengaruh besar dalam dunia fesyen hanya dengan menjalani jabatannya sebagai Perdana Menteri Britania Raya. Khususnya pada gaya ‘power dressing’ yang akan kami bahas di artikel ini.
Sebelum itu, mari mengenal Margaret Thatcher. Simak ulasannya di bawah ini ya!.
Latar belakang Thatcher cukup unik. Ia menempuh pendidikan di Universitas Oxford dan lulus dengan second-class degree di bidang Kimia. Menurut laporan, Thatcher saat itu ingin menjadi perdana menteri perempuan pertama dengan gelar sains.
Thatcher mulai mengguncang dunia politik pada pemilihan umum tahun 1950 dan 1951. Ia menjadi kandidat Konservatif untuk kursi Partai Buruh di Dartford. Pemilihan Thatcher disebabkan oleh kemampuannya saat berbicara di hadapan publik.
Politisi Konservatif lainnya, Bill Deedes, pernah membuat pengakuan soal Thatcher: “Begitu dia membuka mulutnya, kami semua mulai terlihat seperti orang kelas dua.” Thatcher bukan sosok pembicara publik mahir, tapi selalu punya persiapan dan tidak takut saat mengungkap jawabannya.
Ketika seluruh dunia menganggap wanita sebagai kaum yang lemah lembut, Thatcher tidak demikian. Ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan tak sungkan mengibarkan bendera perang jika dibutuhkan.
Pada tahun 1982, Thatcher pernah mengirim pasukan Inggris untuk melakukan serangan ke Argentina demi merebut kembali Kepulauan Falkland. Misi berhasil dengan nyawa 255 tentara Inggris harus melayang..
Thatcher terbilang memiliki gaya ikonik. Di masa kejayaannya, ia terlihat sering mengenakan setelan rok kotak, perhiasan mutiara, handbag, dan tatanan rambut seleher yang kaku.
Dosen sejarah mode di Sekolah Seni Central St Martin, Jane Tynan, memiliki penjelasan terkait gaya Thatcher. Menurutnya, Thatcher menggunakan setelan tersebut demi mendapatkan rasa hormat dari profesi yang masih didominasi laki-laki saat itu.
“Seperti kebanyakan politisi, dia [Thatcher] menciptakan gaya personal untuk memproyeksikan nilai-nilai politik. Dia mengikuti tren sampai batas tertentu tapi mencocokkannya dengan referensi gaya guna menekankan nilai-nilai konservatifnya.”
“Dengan ‘power dressing’, dia bisa memanfaatkan citra wanita karier dengan reputasinya sebagai pemimpin yang galak, lalu mengenakan pakaian yang bisa saja melembutkan citranya. Itulah sebabnya dia mengenakan blus pita,” lanjutnya.
Bagi Tynan, perpaduan yang dikenakan Thatcher merupakan paradoks. Di satu sisi, ia ingin menunjukkan nilai konservatif sembari menampilkan haknya sebagai perempuan untuk bisa menjadi seorang pemimpin.
Masalahnya, Partai Konservatif sendiri tidak begitu merangkul perempuan untuk posisi penting dalam kekuasaan. “Apa yang diwakili oleh pakaian Thatcher adalah kontradiksi pemimpin perempuan yang mendapatkan kekuasaan melalui ideologi Konservatif, yang membatasi kekuatan perempuan dalam masyarakat luas,” kata Tynan lagi.
Pada era kejayaan Thatcher, dunia politik dan bahkan korporat masih didominasi oleh pria. Memang, tidak ada yang menghalangi perempuan untuk berkarier di bidang manajerial. Hanya saja mereka kekurangan otoritas untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin.
Wanita masih dipandang tidak setara dengan pria pada saat itu, bahkan ketika mereka menjabat sebagai pemimpin. Bagi masyarakat, wanita kurang maskulin untuk memangku posisi tertinggi dalam struktur.
Dari sinilah istilah gaya ‘power dressing’ muncul. Fesyen menjadi solusi untuk menekan anggapan publik bahwa wanita tak bisa menjadi semaskulin pria dalam memimpin. Wanita pun mulai mengenakan berbagai macam setelan yang menyerupai pria hanya untuk mendapatkan rasa hormat di dunia pekerjaan.
Namun perlu dicatat bahwa ‘power dressing’ tidak serta merta menghilangkan sisi feminim dari wanita. Justru, itu yang menjadi karakter dari setelan ini. ‘Le Smoking’ tuksedo dari Yves Saint Laurent tetap menunjukkan lekukan wanita pada pakaian yang kala itu dikhususkan untuk pria.
Tentu, karakter menjadi hal utama yang membuat publik yakin memilih Thatcher sebagai Perdana Menteri Britania Raya. Tapi, perlu dicatat bahwa setelan ‘power dressing’ miliknya juga turut membantunya dalam mendapatkan rasa hormat dari publik.
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!