Pernahkah kamu mendengar istilah seperti sustainable fashion, ethical fashion, atau environmentally friendly? Yup, istilah-istilah tersebut berkaitan erat dengan praktik hijau dan ramah lingkungan dari sebuah produk fashion yang dikeluarkan. Perkembangan ini tentu bukan berita yang buruk, namun fakta di lapangan menunjukkan rata-rata brand fashion lebih banyak melakukan praktek greenwashing yang bertolak belakang dengan klaim ramah lingkungan yang mereka gaungkan.
Praktek ini tentu bukan tanpa alasan. Di tengah maraknya dampak perubahan iklim yang semakin terasa, masyarakat mulai lebih terbuka dengan kesadaran untuk menjaga lingkungan. Hal ini juga ditunjukkan dari laporan yang dibuat oleh Nielsen yang berjudul Sustainable Shoppers: Buy the Change They Wish to See in the World yang menyebutkan sebanyak 81% konsumen ingin melihat perusahaan melakukan lebih banyak kontribusi hijau. Kesadaran untuk hidup lebih ramah lingkungan ini, juga didominasi oleh konsumen di kalangan gen Z (80%) dan millennial (85%).
Melihat tingginya kesadaran tersebut dan semakin banyak narasi tentang kehancuran bumi akibat perubahan iklim, membuat banyak brand fashion tergerak untuk berbuat lebih banyak dalam menciptakan produk yang lebih ramah lingkungan. Meski demikian, masih banyak brand fashion yang nyatanya hanya melakukan greenwashing. Istilah yang diperkenalkan oleh environmentalist bernama Jay Westerveld pada 1986 ini, memiliki arti iklan menyesatkan atau klaim palsu oleh perusahaan yang menunjukkan bahwa mereka berbuat lebih banyak untuk lingkungan daripada yang sebenarnya.
Industri fashion menyumbang sekitar 8-10% dari emisi karbon global, dan hampir 20% dari air limbah. Apabila membandingkannya dengan jumlah energi yang digunakan oleh transportasi udara dan perkapalan, industri fashion bisa menyerap lebih banyak energi. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh industri fashion semakin memprihatinkan dengan adanya praktik fast fashion yang dilakukan oleh brand-brand fashion besar di dunia.
Istilah fast fashion menggambarkan perputaran tren mode yang cepat dan pergerakan menuju pakaian murah yang diproduksi secara massal dengan lini baru yang terus dirilis. Semakin tingginya tingkat produksi, maka semakin tinggi jumlah energi dan sumber daya alam yang diperlukan untuk memproduksi fashion yang lantas menyumbang lebih banyak limbah. Produksi fashion yang kian tidak terkontrol inilah yang lantas membuat orang-rang mulai selektif agar bisa memilih produk yang terbuat dari bahan ramah lingkungan dan etis.
Dari sinilah awal brand untuk melakukan penipuan ramah lingkungan atau greenwashing dilakukan. Industri fast fashion telah menjadi pelaku utama dalam praktik greenwashing ini. Mereka seringkali membawa isu perubahan iklim sebagai sarana pemasaran tanpa mengejar perubahan mendasar dalam model bisnisnya. Taktik ini dilakukan agar para konsumen juga bisa ‘’merasa lebih baik’’ ketika membeli produk fashion ramah lingkungan, sehingga bisa membuat mereka turut berkontribusi untuk menjaga bumi.
Sayangnya, seringkali brand-brand besar hanya mengklaim sebagai produk ramah lingkungan dengan sedikit transparansi terkait proses produksi dan praktik etis dalam model bisnis yang mereka lakukan. Pada bulan Juli lalu, brand fashion asal Swedia, Hennes & Mauritz (H&M), dilaporkan melakukan praktek greenwashing karena klaim palsu yang mereka berikan di line Conscious Choice mereka. Melansir dari Renewable Matter, berdasarkan hasil investigasi ditemukan beberapa produk yang menggunakan 100% polyester, bahan yang tidak terurai dan menyebarkan serat mikro ke lingkungan.
Fenomena yang mirip juga dapat dilihat pada peluncuran koleksi terbaru Zara yang menggunakan teknologi LanzaTech pada proses produksinya. Koleksi yang diluncurkan pada Desember 2021 tersebut memungkinkan proses produksi pakaian yang mengubah emisi karbon menjadi kain. Zara mengklaim dengan menggunakan teknologi ini, dapat mengurangi jumlah emisi karbon dan penggunaan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan untuk memproduksi pakaian.
Mengutip dari Euro News, proses ini terlihat menjanjikan untuk mengurangi emisi, tapi menutupi fakta bahwa Zara justru mendorong konsumen untuk menambah koleksi baju mereka yang berkontribusi pada limbah fashion yang dihasilkan. Hal inilah yang seringkali dilupakan oleh brand besar, mereka menawarkan solusi greenwashing dengan mengeluarkan produk baru, bukan berfokus pada akar dari permasalahan lingkungan yang sebenarnya.
Dua contoh kasus tersebut hanya segelintir dari maraknya praktek greenwashing dalam industri fashion. Proses ramah lingkungan pada dasarnya bukan hanya menjual produk yang ramah lingkungan, namun juga melakukan praktik etis dalam model bisnisnya; peningkatan kualitas hidup para buruh yang terlibat dan penurunan produksi berlebih untuk konsumen.
Ketika greenwashing semakin marak, disitulah peran kita sebagai konsumen perlu lebih bijak. Selain menyadari pentingnya bahan produksi di balik sebuah pakaian, ada baiknya kita juga mulai membiasakan tindakan ramah lingkungan dengan bijak dalam berpakaian. Berikut tips yang bisa kamu terapkan untuk tetap stylish tapi juga ramah lingkungan:
Kamu bisa coba upcycle dengan menggabungkan beberapa fashion item untuk dibuat menjadi pakaian baru.
Selain mengurangi jumlah limbah baju yang terbuang, kamu bisa mengasah kreativitasmu untuk membuat banyak fashion item yang unik dan pastinya berbeda dengan yang beredar di pasaran. Beberapa inspirasi upcycle fashion lokal bisa kamu lihat di koleksi milik Diana Rikasari, MONEY MAN, dan Phantasma*Studio.
Terkadang ada momen-momen istimewa yang membuat kita perlu membeli pakaian baru. Padahal, momen tersebut bisa jadi hanya terjadi dalam hitungan hari atau sekali seumur hidup. Misalnya saat acara wisuda, ulang tahun, atau menghadiri undangan pesta. Saat berada di situasi ini, utamakan untuk mencari pinjaman pakaian terlebih dahulu. Kamu bisa coba cari pinjaman dari keluarga, teman, atau bahkan melalui rental baju online. Selain membuatmu lebih hemat, meminjam juga mengurangi kemungkinan jumlah pakaian yang tidak terpakai di kemudian hari.
Kalau kamu berada di situasi yang benar-benar membutuhkan pakaian baru dan tidak memungkinkan untuk meminjam, kamu bisa coba belanja pakaian baru di toko-toko baju bekas. Saat ini, sudah banyak pilihan toko pakaian bekas atau thrift shop yang menjual produknya dalam kondisi yang baik.
Dengan membeli pakaian bekas, kamu bisa menambah usia pakaian lama tersebut untuk bisa digunakan kembali. Sebelum membeli, selalu utamakan kebersihan dan kondisi pakaian untuk menjamin kualitasnya.
Dengan memahami greenwashing, kita bisa menjadi konsumen fashion yang lebih bijak dan selektif saat belanja. Jangan mudah termakan janji manis palsu demi membeli produk ‘ramah’ yang minim transparansi. Perubahan yang baik bisa kita mulai dari hal kecil yang apabila dilakukan terus menerus, bisa membuat dampak yang besar.
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!