Pernah mendengar mengenai metawashing? Kata ini jarang didengar dan digunakan. Jika kamu mengetik “metawashing” di mesin pencari Google, hanya ada beberapa artikel dengan kurang dari 5 halaman yang akan muncul. Belum aja juga penelitian khusus yang meneliti fenomena metawashing ini.
Definisi dan konsep metawashing tidak jauh berbeda dengan greenwashing. Mengutip Global Fashion Agenda, istilah metawashing telah digunakan untuk menggambarkan suatu praktik pada produk dan layanan metaverse. Metawashing merujuk pada pemasaran produk terkait metaverse sebagai berkelanjutan sambil melanjutkan operasi bisnis seperti biasa, yang tidak berkelanjutan itu di tempat lain.
“Jika metaverse didekati semata-mata sebagai peluang pemasaran dan jalan penjualan tambahan, dengan sedikit atau tanpa fokus pada kelebihan produksi dan praktik tidak etis di dunia fisik, maka elemen keberlanjutan tidak memiliki arti penting,” tulis Global Fashion Agenda.
Gagal mengatasi masalah yang tersebar luas dalam produksi pakaian fisik berarti bahwa pemasaran metaverse hanyalah bentuk lain dari greenwashing. Metaverse walau sudah marak, masih berada dalam tahap awal dengan banyak ruang untuk perbaikan.
Jika ini lalai, metaverse hanya akan menjadi tempat lain untuk konsumsi berlebihan dan praktik tidak etis yang menguntungkan perusahaan besar.
Kita tidak mau memperluas tempat bagi perusahaan-perusahaan untuk melanjutkan kebiasaan tidak berkelanjutan mereka.
Karena dilakukan secara digital, persiapan dan aktivitas di dunia fisik secara drastis dapat berkurang. Berbagai contoh disampaikan oleh Global Fashion Agenda seperti:
Tapi apakah itu benar? Pertanyaan ini kompleks untuk dijawab, karena jawabannya bisa iya dan tidak. Lebih banyak diskusi diperlukan, terutama, minat konsumen akan digital fashion juga meningkat.
Mengutip Reuters, permintaan digital untuk brand fashion dan mewah diperkirakan akan tumbuh dari level rendah saat ini (2021) dan menghasilkan penjualan ekstra untuk industri yang dapat mencapai $50 miliar pada tahun 2030, menurut Morgan Stanley.
Digitalisasi bukanlah jawaban satu-satunya. Kamu tahu? Teknologi blockchain, mata uang kripto, dan metaverse memakan banyak energi. Mengutip Zhang, et al. (2022), “metaverse akan membutuhkan daya komputasi 1000 kali lipat lebih banyak dan mendorong penggunaan data sebanyak 20 kali lipat dalam 10 tahun ke depan.”
Studi lain oleh Universitas Massachusetts mengungkapkan bahwa proses pelatihan model AI (Artificial Intelligence) besar melalui pembelajaran mendalam (deep learning) melepaskan lebih dari 626.000 pon karbon dioksida—hampir lima kali lipat emisi rata-rata mobil Amerika selama masa pakainya.
Belum lagi dengan pertumbuhannya dan perkembangan teknologi, akan ada banyak sampah elektronik yang dihasilkan dengan dunia yang serba digital. Sampah-sampah digital ini mencemarkan tanah dan air kita. Penting bahwa para brand transparan dengan jejak karbon virtual mereka untuk mencegah metawashing.
Karena urgensi krisis iklim, perkembangan mata uang kripto yang berkelanjutan atau hijau merupakan perhatian penting di era saat ini. Pembuat kebijakan harus memberi insentif dan memudahkan transisi mekanisme penambangan dirty cryptocurrency dari Proof-of-Work (PoW) konsensus untuk non-PoW atau konsensus hemat energi (Ren & Lucey, 2022).
Mengutip Investopedia, PoW adalah mekanisme konsensus terdesentralisasi yang mengharuskan anggota jaringan untuk berusaha memecahkan teka-teki matematika yang sewenang-wenang untuk mencegah siapa pun memainkan sistem.
PoW digunakan secara luas dalam penambangan cryptocurrency untuk memvalidasi transaksi dan menambang token baru. Juga, PoW kerap menjadi penting jika membahas eco-friendly cryptocurrency.
Bagi yang merasa pasrah, jangan khawatir. Mata uang kripto ramah lingkungan sudah hadir dan berbagai aksi telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif blockchain terhadap lingkungan kita. Beberapa mata uang kripto yang dikenal ramah lingkungan seperti Cardano, Ripple, Stellar, Tezos, Chia, dan banyak lagi.
Selain itu, lebih dari 250 perusahaan dan individu yang mencakup crypto dan keuangan, teknologi, LSM, dan sektor energi dan iklim telah bergabung dengan Crypto Climate Accord (CCA).
Mereka yang bergabung adalah peserta pasar kripto yang membuat komitmen publik untuk mencapai emisi net-zero dari konsumsi listrik yang terkait dengan semua operasi mereka terkait kripto pada tahun 2030. Mereka juga harus melaporkan kemajuan menuju target emisi net-zero ini menggunakan praktik industri terbaik.
Dengan tagar #MakeCryptoGreen (#BuatKriptoHijau) CCA menjelaskan bahwa aksi mereka terinspirasi oleh Perjanjian Iklim Paris. Mereka dipimpin oleh sektor swasta, bekerja sama dengan industri kripto dan blockchain untuk mempercepat pengembangan solusi digital #ProofOfGreen dan menetapkan standar baru untuk diikuti oleh industri lain.
Walau terkesan sudah lama, penerapan dan tren blockchain masih cukup baru. Banyak brand mode yang mengikuti tren ini mungkin tanpa rencana yang matang. Jing Daily memberikan pertanyaan yang penting. Berapa banyak kerusakan lingkungan yang disebabkan? Dan bagaimana merek berencana mengimbangi jejak karbon virtual mereka tanpa strategi yang jelas?
Karena metaverse masih dalam tahap awal, kita semua berkesempatan untuk membentuknya dengan baik, yaitu ramah lingkungan. Jika tidak, penggunaan metaverse untuk menjadi lebih ramah lingkungan hanya akan menjadi greenwashing 2.0. Jangan sampai blockchain menjadi salah satu saluran lain bagi konsumsi berlebihan dan praktik tidak etis yang hanya akan menguntungkan perusahaan besar.
Tidak hanya untuk brand. Penting bagi para konsumen juga untuk sadar bahwa digtal fashion tidak 100% ramah lingkungan. Perlu lebih banyak riset dan rencana bagi industri mode untuk menerapkan digtal fashion yang ramah lingkungan untuk menghindari metawashing.
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!