Belakangan ini marak istilah-istilah yang tren dan terus berkembang di masyarakat melalui media sosial, istilah FOMO (fear of missing out) makin sering mampir di feed kita. Saat melihat teman atau influencer memamerkan outfit terbaru, muncul rasa takut ketinggalan tren. Dorongan itu sering membuat kamu merasa “wajib” punya item baru, meski lemari sudah penuh. Sekilas, mengikuti tren memang terasa menyenangkan, tapi tanpa sadar FOMO bisa mendorong kebiasaan konsumsi berlebihan.
Ketika rasa FOMO ini bertemu dengan fast fashion yang murah dan mudah didapat, dampaknya jadi lebih besar. Pola belanja cepat ini membuat pakaian dibeli, dipakai sebentar, lalu ditinggalkan begitu tren berganti. Akibatnya, bukan hanya dompet yang terkuras, tetapi juga bumi yang semakin terbebani oleh limbah tekstil, emisi karbon, hingga pencemaran air. Dengan kata lain, FOMO fast fashion bukan hanya soal gaya, tapi juga ancaman nyata bagi lingkungan.
Artikel ini membahas FOMO, fast fashion, dan bagaimana kombinasi keduanya memicu pencemaran, sekaligus tips praktis agar tetap gaya tanpa menambah masalah.
Secara sederhana, FOMO adalah kecemasan saat merasa “akan tertinggal” dari pengalaman orang lain—terutama setelah melihat unggahan teman, seleb, atau influencer di media sosial. Dalam dunia fashion, rasa takut ketinggalan ini sering mendorong keputusan beli spontan: lihat konten, suka dengan gayanya, lalu dalam hitungan detik klik checkout tanpa banyak berpikir.
Bagi sebagian orang, memiliki item yang sama dengan figur yang mereka kagumi memberi rasa puas dan meningkatkan kepercayaan diri. Namun, di balik itu, FOMO juga bisa membuat seseorang kehilangan kendali terhadap kebiasaannya berbelanja.
Riset terbaru bahkan menunjukkan bahwa FOMO berkorelasi erat dengan niat belanja dan perilaku social shopping, terutama di kalangan konsumen muda yang aktif mengikuti influencer. Generasi ini terbiasa mendapatkan validasi sosial melalui komentar dan jumlah likes, sehingga tren fashion baru seolah menjadi tiket untuk tetap eksis.
Algoritma platform media sosial kemudian memperkuat dorongan ini dengan terus menampilkan produk serupa, membuat godaan semakin sulit ditolak. Jika dibiarkan, siklus FOMO ini bisa berkembang menjadi kebiasaan konsumsi impulsif yang tak hanya menguras isi dompet, tapi juga meninggalkan dampak serius bagi lingkungan.
Fast fashion adalah model produksi pakaian cepat dan masif yang meniru tren runway atau viral, merilis koleksi baru dalam hitungan minggu. Imbasnya, konsumen terus disuguhi produk murah yang “menggoda untuk dicoba”, sementara dampak lingkungan membesar. Laporan jejaring lingkungan PBB menyebut industri fashion menyumbang sekitar 2–8% emisi karbon global dan merupakan konsumen air terbesar kedua di dunia—gambaran betapa intensifnya sumber daya yang dipakai sektor ini.
Begitu ada tren baru, FOMO memicu urgensi: “Kalau tidak beli sekarang, keburu lewat!” Algoritma memperkuat dorongan itu dengan menayangkan konten serupa berulang kali. Siklusnya: tren meledak—beli impulsif—dipakai sebentar—pindah ke tren berikutnya. Hasilnya? Tumpukan baju yang cepat outdated dan jarang dipakai.
Produksi dan konsumsi yang serba cepat berujung pada buangan skala raksasa. Setiap tahun, sekitar 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan secara global—setara satu truk sampah pakaian yang ditimbun atau dibakar setiap detik.
Pada level produk, studi daur hidup Levi’s mengestimasikan total air yang dikonsumsi sepanjang siklus hidup satu jeans 501® mencapai ~3.781 liter (dari budidaya kapas hingga perawatan konsumen). Angka ini memberi konteks mengapa industri fashion dicap haus air.
Bahan seperti poliester melepaskan mikrofiber saat dicuci. Kajian yang dirujuk lembaga lingkungan Eropa menunjukkan sekitar 35% mikroplastik primer di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis . Partikel ini masuk rantai makanan laut dan pada akhirnya kembali ke piring kita.
Selain produksi material, pewarnaan, dan konfeksi, fase logistik serta pemakaian (mencuci, mengeringkan) ikut menyumbang jejak karbon. Secara agregat, fashion menyumbang 2–8% emisi global—angka yang menuntut pengurangan produksi yang tidak perlu dan pemakaian lebih lama.
FOMO fast fashion mendorong siklus belanja impulsif yang memperparah limbah tekstil (≈92 juta ton/tahun), konsumsi air tinggi per produk (≈3.781 liter untuk satu jeans), pencemaran mikroplastik dari serat sintetis, dan emisi yang nyata pada skala industri. Kabar baiknya: keputusanmu sebagai konsumen, memakai lebih lama, merawat lebih baik, dan membeli lebih bijak punya dampak langsung. Kamu tetap bisa tampil kekinian tanpa harus mengorbankan bumi.
Temukan artikel fashion terlengkap hanya di Laruna, stay stylish, stay updated!