Industri fashion Indonesia terus berkembang pesat, melahirkan bakat-bakat baru dengan karya-karya kreatif. Namun, di balik gemerlapnya industri ini, terdapat sisi kelam yang tak jarang dihadapi para desainer: pembajakan fashion.
Untuk memahami kompleksitas dan solusi dari isu ini, saya mewawancarai dua desainer ternama, Lia Mustafa dan Lanny Amborowati.
Plagiarisme, copy-paste, atau penjiplakan merupakan isu krusial dan kompleks dalam dunia desainer fashion.
Bagi Lia Mustafa, plagiarisme merupakan pelanggaran kode etik profesi. Sebab itu, ia menekankan pentingnya konsistensi dan komitmen berkarya bagi desainer untuk membangun identitas dan DNA yang kuat.
"Kalau kita punya DNA (identitas, karakter) yang kuat, saya yakin, dengan konsistensi dan komitmen kita dalam berkarya, itu enggak perlu takut dengan latahnya orang terhadap karya kita," tukas Lia.
"Orang-orang yang tidak mampu berkreasi sebetulnya mereka bukan desainer," sambungnya.
Di lokasi terpisah, Lanny Amborowati menambahkan bahwa plagiarisme dan inspirasi memiliki garis tipis yang perlu dibedakan. Inspirasi melibatkan reinterpretasi dan pengembangan ide, sedangkan plagiarisme merupakan peniruan mentah-mentah karya orang lain.
"Saling menginspirasi ini misalnya, saya bikin desain outer, nanti ada beberapa orang yang melihat dan mungkin dia juga membuat hal yang serupa tapi dia nambahin sesuatu atau mungkin mengurangi sesuatu, nah itu lebih ke menginspirasi, karena enggak plek sama gitu," kata Lanny.
Kedua desainer ini sepakat bahwa plagiarisme tidak dapat dibendung sepenuhnya. Tetapi, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk menanggulanginya:
Desainer harus terus berinovasi dan mengembangkan DNA desain mereka yang unik. Dengan demikian, meskipun karya mereka ditiru, ciri khas mereka akan tetap terlihat dan membedakan mereka dari para penjiplak.
Lia, sebagai contoh, menyatakan hampir tidak pernah mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk karyanya. Menurutnya, yang terpenting adalah kreasi itu sendiri. Baginya, seorang kreator tidak perlu takut terhadap penjiplakan oleh orang lain, asalkan kita mampu terus berkegiatan dan berkreasi dengan karya-karya kita.
Lia menegaskan, "Tinggalkan saja mereka pembajak, kita larinya ke depan."
Mirip dengan pandangan Lia, Lanny menyatakan bahwa para desainer tidak dapat sepenuhnya menghentikan pembajakan dalam industri fashion. Ini karena terkadang penjiplakan juga dilakukan oleh rekan desainer dan bahkan oleh merek terkemuka.
"Tuntutan kita sebagai desainer itu ya harus meng-upgrade terus, yaudah kalau dijiplak, bikin lagi, kreasi lagi."
Lanny, identik dengan ciri khas hoodie pada karyanya, mengaku pernah dijiplak. Ia menggunakan hoodie pada rancangannya karena fungsional sebagai hijab praktis sehingga digemari oleh anak muda.
"Itu lama jadi ciri khas saya. Terus, ada teman yang menjiplak. Akhirnya, saya beralih. Saya tinggalkan hoodie itu, tapi tetap tidak meninggalkan ciri khas saya," papar Lanny.
"Bedanya gini, kalau tadi saya hoodienya nyambung, besoknya saya pisah dengan bajunya jadi kayak jilbab instan," sambungnya.
Proses pendaftaran desain dan motif sebagai penguatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terbilang rumit. Di sisi lain, HKI pun tidak memberikan perlindungan hukum menyeluruh bagi karya desainer.
Tidak sedikit dari para desainer yang memilih untuk tidak lagi mendaftarkan karyanya ke HKI karena yang dapat didaftarkan hanya elemen seperti logo brand, nama, dan motif. Modifikasi sekecil apapun, seperti perubahan kancing atau benang pada desain, bisa membatalkan hak hukum atas desain tersebut.
Saat ini, para desainer seperti Lanny mengandalkan media sosial sebagai alat untuk melawan penjiplakan.
"Selama ini, kalau ada desainer yang menjiplak, kita akan langsung omongin di medsos. Konsekuensinya ya seperti itu," tegasnya.
Tidak bisa dipungkiri, desainer dihadapkan pada dilema plagiarisme dalam industri fashion. Untuk melindungi karya mereka, membangun DNA desain yang kuat melalui konsistensi dan komitmen berkarya menjadi kunci.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat membantu, meskipun prosesnya rumit dan tidak selalu efektif. Media sosial pun menjadi platform penting untuk menunjukkan evolusi desain dan menindak penjiplakan.
Sebab itu, mengatasi plagiarisme membutuhkan upaya kolektif. Kesadaran dan edukasi tentang kode etik dan hak cipta desain perlu ditingkatkan di kalangan desainer, konsumen, dan industri fashion.
Platform pelindung karya digital juga harus dikembangkan untuk memudahkan desainer dalam mendaftarkan dan melindungi karya mereka.
Dengan upaya bersama, industri fashion dapat bergerak menuju ekosistem yang lebih adil dan kreatif [mhg].
With Laruna, you can combine your love for fashion and the planet by choosing sustainable options that fit your style and contribute to positive changes. Want to join Laruna as a content contributor? We'd love to spend time with you!